SEJUMLAH kalangan, khususnya intelektual dan politisi, belakangan ini menyuarakan kekhawatiran akan kembalinya otoritarianisme di Indonesia. Kekhawatiran itu antara lain dipicu munculnya dua kandidat presiden berlatar belakang militer, Wiranto dan Susilo BambangYudhoyono.
Tampaknya di kepala para intelektual dan politisi kita berkembang sebuah asosiasi, latar belakang militer identik dengan otoritarianisme. Hal ini bisa dimengerti meski tak sepenuhnya benar. Selama 32 tahun (1967-1998), Indonesia di bawah otoritarianisme Soeharto yang berlatar belakang militer. Namun, kenyataannya, lima tahun sebelumnya (1959-1965) Indonesia juga di bawah otoritarianisme Soekarno, pemimpin berlatar belakang sipil. Hal ini menunjukkan, latar belakang karier calon presiden (capres) bukan satu-satunya faktor penentu apakah Indonesia akan terjerumus ke sistem otoriter atau tidak. KOMENTAR dan amatan tentang peluang Indonesia kembali ke sistem otoriter sejauh ini hanyaterfokus pada pribadi capres. Padahal, selain pribadi capres, yang juga menentukan apakah sebuah negara mudah terperosok dalam sistem otoritarian atau tidak adalah desain institusi di negara itu. Jangan-jangan Indonesia potensial kembali ke sistem otoriter karena faktor agen politik (baca: presiden) yang berkuasa, dan struktur politiknya kondusifuntukitu.
Faktor struktur politik yang dimaksud dalam tulisan ini adalah desain institusi, setidaknya terdiri dari dua hal. Pertama, jenis sistem pemerintahan yang diterapkan, dan kedua, pengaturan sistem pemerintahan dalam konstitusi. Menarik, keyakinan sebagian ilmuwan politik, sistem pemerintahan presidensialisme cenderung melahirkan otoritarianisme mengingat beberapa ciri khas presidensialisme: konsentrasi kekuasaan pada presiden, pemilihan langsung presiden, dan masa jabatan presiden yang pasti.
Faktor konsentrasi kekuasaan membuat posisi presiden amat kuat. Dalam sistem pemerintahan parlementer, fungsi kepala negara dipegang presiden dan fungsi kepala pemerintahan ada di tangan perdana menteri. Dalam sistem presidensial, kedua fungsi itu dipegang presiden. Presiden dalam presidensialisme memancarkan aura kekuasaan amat terang karena dialah yang memimpin ritual kenegaraan dan mengendalikan pemerintahan. Seorang presiden bagaikan "raja" dalam bungkus sistem politik modern.
Dalam sistem presidensialisme murni, presiden dipilih melalui pemilihan langsung oleh seluruh rakyat. Meski hanya menang dengan selisih suara tipis, presiden terpilih akan mengantongi mandat dari rakyat untuk memerintah. Apalagi jika ia menang dengan angka telak. Mandat dari rakyat membuat posisi presiden amat kuat. Ini penting, khususnya bagi Indonesia yang sebentar lagi memilih presiden secara langsung. Presiden Indonesia mendatang akan punya legitimasi politik lebih besar daripada presiden-presiden sebelumnya yang dipilih MPR. Presiden terpilih akan lebih percaya diri membuat keputusan politik, termasuk yang bisa mengarah pada otoritarianisme baru.
Selain dipilih langsung, presiden terpilih akan memegang jabatannya untuk jangka waktu lima tahun. Posisi presiden amat kuat sebab ia tidak bisa dihentikan di tengah jalan oleh MPR karena alasan politik yang multitafsir. UUD 1945 hasil amandemen ketiga mengatur, presiden dan/atau wakilnya hanya dapat diberhentikan dalam masa jabatannya bila (i) melakukan pelanggaran hukum berat, (ii) perbuatan tercela, atau (iii) tidak memenuhi syarat sebagai presiden dan/atau wakil presiden (Jimly Asshidiqie, 2002).
Melihat hasil amandemen UUD 1945, tampak sistem pemerintahan Indonesia kian mendekaticiri-cirisistempresidensialismemurni.
CIRI parlementarisme ini yang membuat faktor keterampilan individual presiden amatmenentukan corak hubungan eksekutif dengan legislatif. Faktor ini pula yang menentukan apakah sistem pemerintahan akan cenderung demokratis atau otoriter. Sistem presidensialisme ala UUD 1945 pra-amandemen membuka peluang bagi enam tahun otoritarianisme Soekarno dan 32 tahun otoritarianisme Soeharto. Soekarno bisa begitu dominankarenamodalpolitik berupa peran sebagai Proklamator dan karisma pribadi yang memesona. Soeharto berkuasa dengan modal politik sebagai pengemban Supersemar dan keterampilan politiknya dalam merekayasa dukungan militer, partai, birokrasi, dan bahkan masyarakatsipil.
Namun, sistem yang sama juga telah menjungkalkan Abdurrahman Wahid di tengah jalan. Wahid tidak terampil mengelola modal politik berupa dukungan dari partai-partai politik yang kekuatannya jauh lebih besar dari kekuatan partainya sendiri. Seandainya dulu Wahid terpilih dan memerintah dalam kerangka UUD 1945 hasil amandemen, dapat dipastikan ia masih menjabat Presiden Indonesia sampai sekarang, sejauh ia tak melanggar tiga hal yang disebutkan di atas. Dan, seandainya ia terampil mengelola dukungan dari partai-partai politik dan masyarakat, ia berpeluang terpilih kembali untuk masa jabatan kedua.
Di sini tampak bahwa kekhawatiran kalangan intelektual dan politis di atas bahwa personalitas individu capres merupakan faktor terpenting untuk menilai seberapa besar peluang kembalinya Indonesia ke sistem politik otoriter tidak sepenuhnya akurat. Faktor desain institusional yang diterapkan memberikan kontribusi yang sama besarnya dengan factorpersonalitascapres.
Kenyataan bahwa sistem pemerintahan Indonesia pasca-amandemen UUD 1945 lebih memperkokoh posisi presiden secara politik membuat rakyat Indonesia harus lebih hati-hati dalam memutuskan pilihan capres. Memilih capres yang punya kecenderungan otoriter akan memperbesar peluang negara ini untuk terjerumus dalam otoritarianisme baru.Bagaimana mengetahui kecenderungan otoritarianisme para capres? Tidak ada cara lain kecuali membukakan track record mereka pada masa lampau, tindakan-tindakan mereka di masa kini, dan janji-janji yang akan mereka lakukan di masa yang akan datang. |